Peladang di Lamandau Buka Lahan dengan Cara Dibakar Berbenturan Hukum Pidana, Padahal Itu Tradisi!

PALANGKA RAYA, iNewsKobar.id - Bupati Lamandau Kalimantan Tengah (Kalteng), Rizky Aditya Putra, turut serta dalam retret gelombang kedua yang diadakan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, beberapa hari yang lalu. Dalam acara tersebut, Rizky mengungkapkan bahwa ia memperoleh banyak pengetahuan terkait pengelolaan pemerintahan daerah dan pentingnya sinergi antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat.
Selama retret, Rizky juga menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Lamandau, khususnya masyarakat adat.
Lamandau dikenal dengan kekayaan kearifan lokal dan adat istiadatnya, termasuk praktik berladang tradisional yang bertujuan untuk mencapai swasembada pangan.
Namun, Rizky menyoroti bahwa aktivitas ini belum mendapatkan kepastian hukum, sehingga peladang tradisional sering kali terancam dengan sanksi pidana.
"Selama ikut retret, saya banyak membawa persoalan yang terjadi di Lamandau, terutama masalah peladang tradisional, agar ke depan mereka memiliki kepastian hukum," ungkap Rizky saat diwawancarai media di sela kegiatan Rapimpurnas KNPI 2025 di Kantor Gubernur Kalteng, Palangka Raya, Kamis kemarin.
Peladang tradisional di Lamandau masih menggunakan metode pembukaan lahan dengan cara membakar untuk menanam komoditas hortikultura seperti beras.
Rizky menjelaskan bahwa meskipun beberapa desa di Lamandau berhasil mencapai swasembada pangan setiap tahunnya, mereka masih menghadapi kendala hukum.
“Ada beberapa desa di Lamandau yang masih melakukan praktik berladang tradisional, luar biasanya, mereka mencapai swasembada pangan setiap tahunnya. Selama ini kami punya perda perlindungan aktivitas berladang tradisional itu, tetapi kadang bentrok dengan aturan pusat,” jelas Rizky.
Menurut Rizky, bentrok aturan antara pemerintah pusat dan daerah yang berdampak pada peladang tradisional terjadi karena adanya Undang-Undang Lingkungan Hidup yang melarang pembakaran lahan.
"Ke depan kami harapkan perlu ada harmonisasi Undang-Undang tersebut, paling tidak peladang tradisional dibolehkan membakar setengah sampai satu hektar lahan," ujarnya.
Rizky menambahkan bahwa peladang tradisional sering kali terancam sanksi pidana akibat aktivitas mereka, padahal tujuan mereka adalah untuk mencapai swasembada pangan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat adat.
“Tahun ini belum ada dengar (yang dipenjara), tetapi sebelum pandemi Covid-19 marak, ini menjadi persoalan, yang berdampak bagi luas tanam dan ketahanan pangan kita," pungkasnya.
Editor : Sigit Pamungkas