Bendera Bajak Laut dan Angin Gerah di Ibukota

KOTAWATINGIN BARAT, iNewsKobar.id - Angin gerah berhembus kencang di gedung-gedung tinggi ibukota. Bukan gerah cuaca, tapi gerah hati. Gerah melihat secarik kain bergambar tengkorak bertopi jerami berkibar di udara Nusantara, menjelang hari kemerdekaan yang ke-80.
Bendera dari negeri dongeng One Piece itu, bagi sebagian pejabat dan wakil rakyat, bagai duri di lambung kekuasaan. Sampai-sampai, ancaman "makar" dan pidana pun dihamburkan, seperti petasan di siang bolong. *Seolah-olah secarik kain fantasi itu lebih berbahaya daripada peluru nyata yang mengancam kedaulatan.*
Tapi, benarkah suara rakyat yang tercekat itu layak disebut makar?
Bendera itu, bagi yang mengibarkannya, bukan bendera pemberontak. Ia lebih mirip *lampu peringatan di dashboard kapal negara yang sedang oleng.* Sebuah protes nyaring terhadap kebijakan yang terasa seperti pisau bermata dua, menusuk rakyat kecil di sela-sela senyum manis janji kesejahteraan.
Lihatlah pernyataan Menteri ATR/BPN. Tanah yang jelas-jelas berpuluh tahun dipegang Hak Milik (SHM), tanah warisan leluhur yang mungkin masih terbungkus mimpi pemiliknya untuk membangun, tiba-tiba dicap "terlantar".
Bagai benih yang baru saja ditanam di genggaman, belum sempat tumbuh tunas, sudah dituduh mati dan dicabut paksa. Aturan tentang tanah terlantar seharusnya menyasar tanah-tanah luas yang dikantongi izin HGU/HGB perusahaan besar, bukan secuil tanah harapan rakyat biasa yang masih menunggu musim hujan modal. Ini seperti menangkap ikan kecil di kolam, sementara paus di laut lepas dibiarkan bebas.
Lalu, ada rekening tabungan. Tabungan kecil-kecilan yang mungkin berisi tetesan keringat bertahun-tahun, tiba-tiba dibekukan dengan cap "dormant".
Seperti telur ayam di sarang yang dingin, dianggap mati sebelum sempat dierami. Tanpa analisa mendalam, tanpa upaya mencari tahu nasib pemiliknya yang mungkin sedang merantau atau sengaja menabung untuk masa depan. Uang rakyat itu bukan sampah yang bisa begitu saja disapu.
Belum kering keringat memikirkan tanah dan rekening, muncul wacana baru: Tarif VoIP Premium. Provider telekomunikasi mengeluh investasi menaranya besar, sementara aplikasi seperti WA dan Telegram yang memakai jalurnya untung besar.
Solusinya? Tarik premium atas panggilan video! *Ini seperti menutup keran air karena tetangga memakai selangnya untuk menyiram kebun.* Yang akan tercekik siapa? Para pekerja migran (PMI) yang hanya bisa memeluk anak lewat layar?
Para bapak yang merantau jauh, yang suara istri di video call adalah penawar rindu satu-satunya? Suara mereka akan dibebani biaya premium, bagai burung migran yang dipaksa membayar untuk langit yang ia lintasi.
Ditambah lagi, pajak yang merayap di segala sudut, BBM dan listrik yang harganya seperti balon udara panas terus naik, tak terbendung. Beban hidup rakyat kecil kian terasa seperti karung beras yang bocor, isinya terus berkurang di tengah jalan.
Di tengah himpitan seperti ini, bendera One Piece dikibarkan. Sebuah simbol protes yang kreatif, mungkin nakal, tapi apakah layak disebut makar?
Lalu, bagaimana dengan hutan bendera partai yang menjamur di setiap sudut jalan, kadang menutupi rambu lalu lintas, mengganggu keselamatan, bagai rumput liar di taman umum? Apakah mereka juga simbol makar? Atau hanya dianggap "hiasan demokrasi" yang biasa saja?
Ironi terpahit justru datang dari istana keadilan sendiri. KPK dan Kejaksaan Agung, yang masih tersisa secercah kepercayaan di mata publik, terpaksa menelan pil pahit sebesar kelereng. Proses hukum yang sudah dijalankan dengan susah payah, bagai pelari marathon yang hampir finish, tiba-tiba disalip mobil balap bernama "keputusan politik".
Abolisi dan amnesti diberikan kepada tokoh politik yang sudah divonis bersalah. Memang, hak konstitusional Presiden. Tapi, ketika hukum yang sudah tegak berdiri ditumbangkan oleh keputusan politik yang datang tiba-tiba, rasanya seperti melihat tiang bendera kokoh patah diterjang angin sepoi-sepoi. Masyarakat hanya bisa mengernyit: Di mana konsistensi? Di mana pesan bahwa semua sama di mata hukum?
Janganlah bendera protes yang jujur itu dibungkam dengan ancaman. Dengarkan suara di balik kibaran kain bergambar bajak laut imajiner itu. Suara itu berteriak tentang tanah yang dirampas, tabungan yang dibekukan, biaya hidup yang mencekik, dan komunikasi yang hendak dikebiri dengan membebani tarif premium. Suara itu mempertanyakan keadilan ketika hukum kalah oleh politik. Suara itu meminta kebijakan yang berpihak, bukan yang memihak.
Pejabat dan wakil rakyat yang gerah, sebaiknya tidak memadamkan api dengan bensin. Turunlah. Dengarkan. Rasakan hawa panas yang sesungguhnya, bukan hanya angin gerah di ruang ber-AC.
Pemerintah yang bijak adalah nahkoda yang tak hanya marah melihat bendera isyarat, tapi segera memeriksa mesin kapal yang mungkin memang sedang bermasalah.
Kibaran bendera One Piece itu bukan makar, Pak. Itu alarm. Alarm bahwa ada yang salah dalam pelayaran kapal besar bernama Indonesia. Perbaiki yang salah, niscaya alarm itu akan senyap sendiri, berganti dengan kibaran merah putih yang penuh makna, di hari kemerdekaan yang ke-80. Merdeka sejati bukan hanya dari penjajah, tapi juga dari rasa takut dan ketidakadilan.
Editor : Sigit Pamungkas