KOTAWARINGIN BARAT, iNewsKobar.id - Daun sangsabang yang berwarna merah tua keunguan, telur ayam kampung, potongan ayam panggang, dupa, beras, beras kuning, janur kuning, besi beliung, dan tuak yang terbuat dari fermentasi air beras, tersaji di tengah rumah sederhana itu.
Seorang mantir (kepala) adat kemudian memimpin upacara adat Banaik Sekolah Adat,tradisi masyarakat adat Dayak Tomun. Doa tolak bala dalam cara tradisi tua Kaharingan Dayak, lalu ia rapalkan. Setelah itu, seluruh sesajen itu ditempatkan pada sebuah wadah dari anyaman bambu.
Ancak namanya. Ancak itu kemudian dibawa keluar, untuk ditempatkan pada sebuah tempat yang disebut Pahobang. Pahobang adalah sebuah tempat khusus yang secara fisik terbuat dari beton segi empat. Ia punya makna khusus bagi orang Dayak Tomun. Pahobang itu penjaga, pertahanan atau pelindung badan diri, komunitas Dayak Tomun, dan negeri tempat mereka tinggal. Ia juga bermakna sebagai jembatan komunikasi kepada leluhur.
Karena itu, sebelum pahobang dibangun, diperlukan adanya petunjuk dari leluhur orang Dayak. Di dalam pahobang biasanya terdapat pusaka dan kayu-kayu sakral dari alam yang pernah hidup ratusan atau ribuan tahun lalu. Upacara singkat ini, menandai diresmikannya Sekolah Adat Basangiang, di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Sekolah ini berada di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Baru, Pangkalan Bun. Ia hadir diinisiasi dan dikelola oleh komunitas Dayak Tomun dan Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Kotawaringin Barat, Kalimantan.
Ritual Adat Banaik Sekolah Adat, menandai peresmian Sekolah Adat Basangiang, di komunitas Adat Dayak Tomun, Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat.
Martin Kukung, pengelola Sekolah Adat Basangiang, mengatakan basangiang itu artinya berlagu, bernyanyi dalam suasana apapun dalam tradisi budaya Dayak Tomun. Adapun tujuan sekolah adat ini diubat adalah untuk tetap menjaga eksistensi nilai-nilai adat budaya dalam kehidupan modern ini.
“Yang kami pentingkan menyangkut pendidikan anak-anak di rumah, karakter, adat berbahasa, tatakrama yang sudah diajarkan oleh leluhur kami dulu,” kata dia.
Menurut dia, seni Dayak, hukum adat Dayak dan agama Dayak harus tetap dilestarikan dan dikembangkan. “Seni Dayak, agama Dayak, hukum adat Dayak tidak bisa dipenggal, dipisah satu-satu. Itu satu kesatuan. Jadi ketika kita berbicara seni Dayak secara otomatis kita berbicara agama Dayak. Ketika berbicara seni dayak secara otomatis kita bicara hukum Dayak,” ucapnya.
Kungkung menyayangkan, keberadaan oang Dayak Tomun dan ekspresi budayanya seperti tenggelam di Kabupaten Kotawaringin Barat, lebih khusus Pangkalan Bun, sebagai ibukotanya. Padahal, nama Pangkalan Bun sendiri, diambil dari nama tokoh Dayak Tomun, Buun.
“Keprihatinan kami saat ini, seolah-olah Pangkalan Bun itu bukan orang Dayak. Padahal menurut sejarahnya Pak Buun itu soko guru Pangkalan Bun ini. Anak-anak sekarang ditanya Pangkalan Bun dari mana asal katanya, mungkin sudah tidak tahu. Padahal dari kata Pak Buun, orang Dayak Tomun, yang sudah memulai kehidupan di Pangkalan Bun ini.”
Lebih jauh, ia mengatakan, kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Adat Basangiang ini nanti kurikulumnya berdasarkan adat tradisi adat Dayak Tomun. “Misal ada pelajaran berpantun, dalam bahasa kami barayah.Kemudian ada mata pelajaran basangan atau bercerita. Lalu sejarah bangsa Dayak. Kemudian ada puribansa atau tatakrama. Mudah-mudahan kami bisa melakukan itu dengan baik.”
Mardani, Ketua AMAN Kotawaringin Barat, sangat gembira menyambut kehadiran Sekolah Adat Basangiang ini. Menurutnya, sekolah adat memang penting untuk meneruskan ajaran leluhur.
“Karena leluhur kita dulu itu belajarnya dengan alam. Jadi menjaga keseimbangan melalui prosesi-prosesi dengan adat tadi penting.”
Ia bahkan, berharap sekolah adat ini kelak bisa berkolaborasi dengan Sekolah Adat Neak, yang sudah berdiri beberapa tahun sebelumnya di Pangkalan Bun. Sekolah Adat Neak mengembangkan pengajaran dari tradisi komunitas adat Juriat Kotawaringin, yang sudah dipengaruhi budaya Islam dan pesisir.
“Akan sangat bagus, misalnya, bila kita bisa menampilkan paduan suara dari dua sekolah adat ini. Kita akan buktikan komunitas adat dengan beragama tradisi dan budayanya penuh toleransi,” ucap Mardani.
Editor : Sigit Pamungkas