get app
inews
Aa Text
Read Next : Diskon Tiket Pesawat Diberlakukan Pemerintah, Berikut Syaratnya

Warga Indonesia Banyak ‘Kumpul Kebo’, Daerah Ini yang Mendominasi

Minggu, 08 Juni 2025 | 07:25 WIB
header img
Warga Indonesia Banyak ‘Kumpul Kebo’, Daerah Ini yang Mendominasi

 

 

 

JAKARTA, iNewsKobar.id - Pasangan bukan suami istri yang tinggal bersama atau kumpul kebo kian ramai di Indonesia. 

Beberapa saat lalu, fenomena kumpul kebo juga terjadi di jejeran Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sebelumnya, The Conversation melaporkan fenomena kumpul kebo disebabkan adanya pergeseran pandangan terkait relasi dan pernikahan. Saat ini, tidak sedikit anak muda yang memandang pernikahan adalah hal normatif dengan aturan yang rumit.

Sebagai gantinya, mereka memandang 'kumpul kebo' sebaqai hubungan yang lebih murni dan bentuk nyata dari cinta. Di wilayah Asia yang menjunjung tinggi budaya, tradisi, serta agama, ‘kumpul kebo' mash menjadi hal tabu. 

Di Indonesia, studi pada 2021 berjudul The Untold Story of Cohabitation mengungkapkan bahwa "kumpul kebo' lebih banyak terjadi di wilayah bagian Timur yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Menurut peneliti ahli muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini, setidaknya ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado yang merupakan lokasi penelitiannya memilih untuk 'kumpul kebo' bersama pasangan.

Alasan itu antara lain terkait beban finansial, prosedur perceraian yang terlalu rumit, hingga penerimaan sosial.

"Hasil analisis saya terhadap data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 0,6 persen penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi," ungkap Yulinda beberapa saat lalu.

"Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30btahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekeria secara informal," lanjutnya.

Akibat Kumpul Kebo Yulinda menyebut, pihak yang paling berdampak secara negatif akibat 'kumpul kebo' adalah perempuan dan anak. Dalam konteks ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu, seperti yang diatur dalam hukum terkait perceraian. Dalam kohabitasi, ayah tidak me miliki kewajiban hukum untuk member dukungan finansial berupa nafkah.

"Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah- masalah lainnya," terang Yulinda.

Sementara itu dari segi kesehatan, 'kumpul kebo' dapat menurunkan kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental. Sejumlah penyebab dampak negatif akibat kohabitasi adalah minimnya komitmen dan kepercayaan dengan pasangan dan ketidakpastian tentang masa depan.

Menurut data PK21, sebanyak 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Lalu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga cenderung mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional.

"Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan me miliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status

"anak haram', bahkan dari anggota keluarga sendiri." 

"Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” pungkasnya.

Editor : Sigit Pamungkas

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut