JAKARTA, iNewsKobar.id - Jenderal Hoegeng Imam Santoso, polisi jujur yang namanya dikenang hingga saat ini. Sejak dirinya bergabung ke Djawatan Kepolisian Negara yang berdiri 1 Juli 1946, Hoegeng tak ketinggalan ikut makan asam-garam revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Prinsip yang dipegang Hoegeng ternyata membuatnya dicopot sebagai orang nomor 1 di Korps Bhayangkara. Tak sampai lima tahun menjabat Kapolri, ia dicopot Presiden Soeharto pada 2 Oktober 1971.
Pencopoyan Hoegeng ditengarai sebagai bentuk “tamparan” sang Presiden pada Kapolri karena yang terlampau jujur dan tak bisa dibungkam dengan suap sejumlah kasus.
Kasus “Sum Kuning” salah satunya. Ada seorang gadis pedagang telur, Sumarijem di Yogyakarta, yang diperkosa putra pejabat yang juga putra pahlawan revolusi.
Sumarijem yang seharusnya korban, malah dijadikan tersangka lewat rekayasa kasus. Hoegeng yang memegang kendali di kepolisian tak tinggal diam.
Meski pelakunya dibekingi pejabat, tak membuat nyali Hoegeng ciut. Ia bertekad untuk membongkarnya. Sementara Soeharto memerintahkan untuk menghentikan pengusutan kasus itu untuk dilimpahkan ke tim pemeriksa Kopkamtib.
Hingga akhirnya seorang tukang bakso dijadikan kambing hitam. Ia dipaksa dipaksa mengaku sebagai pelakunya. Kasus lainnya, adalah penyelundupan mobil mewah Robby Tjahjadi pada 1960-an.
Dalam perkara ini, Bea cukai sudah sempat bisa disuap, namun berhasil dibongkar Jenderal Hoegeng. Malangnya bukan pujian yang didapat, Hoegeng malah dicopot sebagai Kapolri.
Hoegeng sempat dipanggil Soeharto sebelum dirinya dicopot. Ia juga ditawarkan jabatan diplomat di negara lain. Namun, Hoegeng mengetahui bahwa itu cara halus Soeharto untuk menyingkirkannya.
“Ya, sudah. Saya keluar saja. Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail. Saya tidak suka koktail,” ketus Hoegeng menolak tawaran Soeharto.
Hoegeng sering menyibukkan dirinya bermusik bareng Band The Hawaiian Seniors setelah tak jadi Kapolri. Bandnya sering tampil di TVRI.
Namun sayang diboikot pemerintah ketika Hoegeng ikut-ikutan Petisi 50. Nama Hoegeng bak masuk daftar hitam pemerintahan Orde Baru.
Bandnya tak bisa main di depan khalayak umum, bahkan dicekal ke luar negeri. Tak hanya itu, Hoegeng juga dicekal untuk menghadiri peringatan HUT Bhayangkara setiap 1 Juli.
Padahal, pria kelahiran 14 Oktober 1921 merupakan tokoh yang turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia pernah ditangkap polisi Belanda dan karena pernah berteman dengan salah satu perwira Belanda. Hoegeng tetap diperlakukan dengan baik. Dalam penangkapan itu, ia ditawari untuk membelot.
“Saya putra Indonesia, mustahil bagi saya bersikap lain!,” kata Hoegeng menolak rayuan Belanda, sebagaimana dikutip buku ‘Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa’.
Saat Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda via Agresi Militer II, Hoegeng memilih bertahan di dalam kota. Hoegeng berperan aktif mengumpulkan informasi dan data intelijen dari dalam kota yang diperlukan TNI, di bawah komando Soekarno Djojonegoro. Meski dirinya tak ikut bergerilya.
Bahkan, Hoegeng menyamar sebagai pelayan di sebuah restoran yang sedianya, tak jauh dari rumahnya di Jalan Jetis, Yogyakarta. Pengalamannya itu sering kembali dilakoni, termasuk ketika sudah menjabat Kapolri jelang sidak ke berbagai tempat.
Pada usia 82 tahun, Hoegeng wafat, tepatnya 14 Juli 2004. Hoegeng tutup usia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo akibat penyakit stroke dan jantung.
Hoegeng dikebumikan di Pemakaman Umum Giri Tama, Bogor. Sebab, dirinya berwasiat, tak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Editor : Sigit Pamungkas